Postingan

Lintang Lintas Senja -Part 3- 'Broken'

* "Namanya Agatha, Ma" Aku menceritakan tentang cinta pertamaku ke Mama. Mama terlihat senang, lalu menyambut antusias ceritaku. "Besok suruh main ke rumah" kata Mama, dan aku cuma menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Mama sepertinya senang tahu bahwa anaknya sudah mulai mengenal cinta. Ya, selama ini kan aku emang nggak begitu mikirin tentang cinta. ** "Bunda.." Malam ini Bunda menemaniku mencoret-coret di lembaran buku pemberian kak Lintang. "Kenapa sayang?" jawabnya sambil tangannya menyisir rambutku. "Em.. Lintas boleh tanya sesuatu?" Aku menutup buku tebal itu. Menoleh ke arah Bunda yang kini tersenyum cantik. Bunda mengangguk , "Boleh dong, sayang. Ayo mau tanya apa?" Aku menggigit bibir bawahku, tiba-tiba aku ragu ingin menanyakan hal ini pada Bunda. "Kok diem sih Lin? Katanya mau tanya.. Hmm.. sepertinya Bunda tahu nih kamu mau tanya apa?" Bunda mencolek hidungku. Aku menunduk. "T

Potret Jogjakarta

Kemarin, di pagi buta, Kaki ku sudah menapak di ujung kota. Dingin menyergap sendi-sendi tulang, Menembus kulit yang terbalut rajutan benang. . Sendiri aku berjalan, Yang lain masih meringkuk di atas dipan. Sendiri aku menikmati, Keresahan hati. . Sampailah aku di bangunan tua, masih sepi dan tampak segelintir jiwa. Bersiap menyambut hari, yang bagi mereka suci. . Aku melangkah tanpa ragu, Walau firasat buruk menyelimutiku. Aku tak gentar, Aku seperti dihantar. . Duduk diam mengadah mimbar, mengeyahkan perasaan hambar. Mata mengerjap, Bulir bening datang sekejap. . Bangunan tua mulai ramai, gaduh namun damai. Firasat ku makin menajam, entah kurasa di sini semakin kelam. . Pastur beranjak menginjili, jemaat mempersiapkan diri. Aku menoleh kanan kiri, memastikan sesuatu tak akan terjadi. . Hitungan menit, seorang pria berpedang, merengsek maju seakan siap perang. Senjatanya terhunus di dada Pastur, timbul kericuhan seakan bangunan ini akan hancur. .

Apa kabar hati?

"Aku akan menyusulnya" . Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kemarin, saat kau mengutarakan keputusanmu, aku hanya bisa terdiam. Maksud hati ingin mencegah, tapi apa bagianku dalam hidupnya. Melarang pun tak berhak. Ku jawab saja dengan senyuman tak ikhlas ku. Maaf, mungkin aku egois. . "Kalau sudah bertemu dengannya, segera ungkapkan." . Nasihat ku padanya. Dia tersenyum bahagia. Ya, aku tahu dia bahagia, sangat bahagia. Esok dia akan bertemu dengan si pembawa lari hatinya. . Kau memutuskan untuk pergi mengejar hatimu yang dibawa lari olehnya. Lalu, apa kabarnya hatiku yang juga sudah kau bawa lari ?

Lintang Lintas Senja -Part 2- 'Grow Up'

Katanya, masa putih abu-abu itu masa yang paling indah? Bagiku, mungkin iya, mungkin tidak. Sudah hampir 6 tahun aku dan kak Lintang bersahabat. Iya sejak dia jadi anak SMP, dia masih tetap mau berteman denganku. Menemaniku saat hari minggu. Kadang kami juga bersepeda sampai ke alun-alun kandang macan. Pernah juga waktu SMP dia mengajakku bersepeda sampai ke Malioboro. Memang sih, jarak dari rumahku ke Malioboro termasuk dekat. Kalau bersepeda paling 30 menit sampai. Aku ingat, saat itu dia mengajakku membeli gelang yang terbuat dari tali rami dihiasi bandul-bandul kecil berbentuk bulan. Harganya empat ribu rupiah saat itu. Tapi gelang itu sudah tak tahu dimana berada. Maaf, aku telah memusnahkan pemberian ke dua dari kak Lintang. Kak Lintang juga mengajakku makan makanan khas Palembang di salah satu gerai dekat Malioboro. Empek-empek Nyonya Kamto yang sudah terkenal di Jogja. Dan itu kali pertama aku makan empek-empek. Itu sedikit cerita saat kami masih SMP . Dulu kami

Lintas Lintang Senja -Part1- 'Bebek Lilin'

Aku melangkah gontai saat itu. Menuju kelasku yang berada di lantai dua gedung sekolah itu. Wajahku menyiratkan kesedihan. Dan aku lapar. Pelajaran olahraga pagi itu sungguh menguras tenagaku. Pak Adam seakan ingin meremukkan tulang murid-muridnya. Latihan marathon selama hampir satu jam penuh, dilanjut dengan latihan kayang. Duh, Untung saja badanku kurus. Aku baru saja dari kantin, tapi aku tak berhasil membawa nasi bungkus, bahkan sepotong gorengan tempe pun tak bisa kulahap. "Kamu sakit, ya?" Sebuah suara mengejutkanku, langkah ku yang sudah gontai jadi semakin terhuyung karena kaget. "Maaf. Hehe.. habis aku lihat kamu lemes gitu" Katanya, lagi. Aku tak mengenal siapa anak cowok itu. Mungkin dari kelas sebelah, atau kakak kelas, atau bahkan adik kelas. Anak itu tersenyum. "Kamu pasti lagi sakit. Mukamu pucat. Kata Ibuku, biasanya kalau pucat pasti sakit" Aku mencelos. Ini anak sok tau juga ya? Aku bukan sakit, tapi aku lapar. "Aku ngga