Lintang Lintas Senja -Part 3- 'Broken'

*

"Namanya Agatha, Ma"
Aku menceritakan tentang cinta pertamaku ke Mama.
Mama terlihat senang, lalu menyambut antusias ceritaku.

"Besok suruh main ke rumah"
kata Mama, dan aku cuma menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.

Mama sepertinya senang tahu bahwa anaknya sudah mulai mengenal cinta.
Ya, selama ini kan aku emang nggak begitu mikirin tentang cinta.

**

"Bunda.."
Malam ini Bunda menemaniku mencoret-coret di lembaran buku pemberian kak Lintang.

"Kenapa sayang?" jawabnya sambil tangannya menyisir rambutku.

"Em.. Lintas boleh tanya sesuatu?"

Aku menutup buku tebal itu. Menoleh ke arah Bunda yang kini tersenyum cantik.

Bunda mengangguk ,
"Boleh dong, sayang. Ayo mau tanya apa?"

Aku menggigit bibir bawahku, tiba-tiba aku ragu ingin menanyakan hal ini pada Bunda.

"Kok diem sih Lin? Katanya mau tanya.. Hmm.. sepertinya Bunda tahu nih kamu mau tanya apa?" Bunda mencolek hidungku.

Aku menunduk.

"Tapi Bunda jangan ketawain Lintas, ya?"

"Kalau pertanyaan kamu lucu, masa Bunda nggak boleh ketawa?"

Aku menggeleng.
Entah lah apa arti gelengan kepalaku.

Bunda terdiam. Aku juga terdiam.
Mengumpulkan nyawa untuk pertanyaan yang akan kulontarkan.

"Em.. Bunda, jatuh cinta itu kayak gimana?"

Bunda membelai rambut atasku.
Aku menunduk malu.

"Lintas.. Bunda nggak bisa mendeskripsikan jatuh cinta itu bagaimana. Yang pasti, kalau kita jatuh cinta, pasti rasanya pengen selalu terus sama orang yang lagi kita beri hati."

"Termasuk cemburu dan takut kehilangan?"

Aku memberanikan diri memandang Bunda.
Kini Bunda tersenyum.

"Cemburu itu punya banyak arti. Bukan melulu cemburu urusan hati."

Sejenak aku terdiam.

"Kamu lagi jatuh cinta, sayang?"

Aku segera menggeleng cepat.
Bunda malah tertawa pelan.

"Sama siapa?"

Aku terbelalak.

"Enggak kok, bunda. Kan Lintas cuma tanya aja"

"Sama Lintang?"

Aku tercekat. Tapi tak merespon pertanyaan Bunda.
Aku menunduk.
Aku sendiri nggak tahu gimana perasaan ku ke kak Lintang yang sebenarnya.

"Lintas.. Bunda tahu, Bunda bisa lihat perasaan kamu dari matamu. Dari caramu menatap Lintang. Kamu sayang sama Lintang?"

"Kak Lintang udah punya pacar, Bun"
jawabku, lirih.

Bunda memelukku.
Mataku seketika menjadi panas.
Bulir bening dengan lancangnya menetes melewati pipiku.

"Coba kamu rasakan lebih dalam lagi tentang perasaan mu yang kamu anggap cinta ini ya , sayang"

"Maksud Bunda?"

"Cemburu bukan melulu soal hati kan kata Bunda? Dengar Lintas.. Mungkin kamu sedang cemburu karena Lintang sudah punya pacar, dan kamu tahu kalau waktunya yang selama ini buat kamu jadi terbagi, kan? Mungkin untuk sekarang rasa cemburu mu punya arti seperti itu."

Aku merenungkan kalimat Bunda.

"Kalau ternyata aku beneran cemburu karena cinta?"

"Itu hak kamu, sayang. Tiap orang berhak mencintai dan dicintai. Kalaupun kamu hanya bisa mencintai Lintang, terima saja. Cinta memang nggak bisa dipaksa, bukan? Walau itu bikin sakit. Ya karena memang itu resiko orang jatuh cinta"

Bunda terus memelukku.

Kak Lintang..
Jadi ini resikonya aku kenal kamu ?

***

Ujian kenaikan kelas sudah terlaksana.
Seminggu ke depan cuma ada classmeeting.
Siswa kelas dua belas juga tinggal menunggu pengumuman kelulusan.

Hmm..
Sejak kak Lintang dan Agatha pacaran.
Waktuku dengan kak Lintang memang sedikit berkurang.
Istilahnya sih aku seperti tergusur.

Kak Lintang yang biasanya ngajak aku sepedaan ke alun-alun kidul sekarang sudah nggak pernah lagi.
Yang sering ngajak aku makan di kantin, juga nggak pernah lagi.
Apalagi ngabisin malam minggu di dekat keraton atau Malioboro seperti dulu-dulu.
Ya. Aku maklum kak Lintang emang udah punya pacar.
Dan aku, sahabatnya cuma akan jadi yang nggak penting-penting amat sekarang.

Dan Agatha sendiri, dia sepertinya memanfaatkan aku.
Misalnya, dia selalu menitipkan barang pemberiannya untuk kak Lintang.
Hmm.. Mungkin lebih tepatnya aku ini dijadikan kurir untuk urusan cinta mereka.

Tapi, untung aja ada kak Ari yang sedikit bisa gantiin kak Lintang.
Iya.
Kak Ari kadang mengajakku pergi, entah itu jalan-jalan ke toko buku, menemaninya ke Telkom untuk dia bikin tugas, nonton film baru, ataupun cuma sekedar makan.

Dan yang tahu perasaanku pada kak Lintang saat ini hanya aku, Bunda, dan juga Tuhan.
Aku nggak mau siapapun tahu.
Selain akan melukai diriku sendiri, sama saja justru nantinya akan membuat jarak antara aku dan kak Lintang, jika kak Lintang tahu perasaanku.

"Hei, Lin. Bengong aja."
Kak Lintang mengibas-ngibaskan telapaknya di depan wajahku.

Aku tergagap. Lalu cuma bisa nyengir.

Hari ini Agatha nggak masuk sekolah.
Hmm.. Mungkin karena itu kak Lintang sekarang ada di depan ku.
Seperti dijadikan cadangan saja aku.

"Acara perpisahan nanti mau dateng bareng siapa?"
tanya kak Lintang sambil mulutnya sibuk mengunyah sosis bakar.

Aku mengerutkan dahi.
Biasanya aku pergi bareng kak Lintang, kan?

"Enggak tau, kak" jawabku akhirnya.

Sudah pasti kak Lintang akan bareng sama Agatha.

"Sama Dani aja, Lin"

"Emm.. Aku nggak tau sih bisa dateng atau enggak"

Kak Lintang memandangku heran.
Alisnya seketika menyatu.

"Loh, kenapa?"

"Ada acara keluarga pas malam perpisahan, kak"
Oke. Aku berbohong .
Alasan utamaku sebenarnya adalah karna aku nggak ingin melihat kak Lintang datang ke malam perpisahan bersama Agatha.
Sudah pasti mereka akan tampil romantis.

"Yahh. Nggak seru ah, kamu"

Aku menelan ludahku.
Iya, dan hidupku semakin nggak seru sejak kak Lintang pacaran dengan Agatha.

****

"Lin, cari kopi joss aja yuk"
Kak Ari membelokkan motornya menuju ke arah tugu Jogjakarta.

Malam ini aku memang ada edisi jalan-jalan bareng kak Ari.
Setelah tadi diajak cari buku di Gramedia Malioboro.

"Mau kopi joss aja jauh-jauh sampe sini sih, kak"
tanyaku setelah kami sampai di pinggiran jalan dekat tugu.

"Di sini yang menurutku paling enak sih" jawabnya sambil terkekeh.

Kak Ari hampir sama dengan kak Lintang. Pecinta kopi. Bedanya, kak Ari belum pernah memuji kopi seduhanku.
Karena kak Ari memang nggak pernah singgah lama-lama kalau ke rumahku.

"Lek, kopi ne loro yo"
(Om, kopinya dua ya)

Kak Ari memesan dua gelas kopi khas pada bapak yang sepertinya sudah dikenalnya baik.

"Siap mas bro"

Si bapak nya pun menyahut sambil mengacungkan jempolnya.

Aku melihat proses pembuatan kopi joss. Aku sudah sering minum kopi pake arang ini, lagi-lagi kak Lintang yang mengenalkan ku pada minuman enak ini (enak bagi yang suka kopi).
Hmm.. aroma kopi bercampur arang panas segera menguar, walaupun sedang ada di ruangan terbuka, tapi aroma kopi ini tetap menusuk.
Menggoda cuping hidungku.
Juga menggelitik lidahku untuk segera menyesapnya.
Dan saat-saat seperti itu aku justru kangen dengan kak Lintang.

"Si Lintang lanjut kuliah di mana, Lin?"
pertanyaan kak Ari yang tiba-tiba malah membuat jantungku berdegup kencang.

Hm..

Ini yang sebenarnya sedang tidak ingin kuingat.

Dua hari lalu, kak Lintang memberi tahu aku kalau dia akan kuliah di Jakarta.
Iya.. Di Jakarta.

Semakin jauh saja bukan aku dengan kak Lintang?
Dan hal itu justru seolah semakin menyuruhku untuk menghapus perasaan ku pada kak Lintang.
Ah, tapi apa bisa?

"Kok diem? Pertanyaanku salah ya?"

Aku segera tersadar dengan suara kak Ari yang menyiratkan rasa bersalah.

Aku menoleh ke arahnya.

"Eh, enggak kok kak. Gak apa-apa. Kak Lintang mau lanjut di Jakarta, kok"
jawabku sambil berusaha mengulas senyum.

Kak Ari cuma mengangguk, lalu melanjutkan menyesap kopinya yang mulai dingin.

*****

Malam Lin..
Em, sorry nih ganggu malem2
Cuma mau ngajak aja,
Malam perpisahan pergi bareng aku ya?

Sender : kak Dani


Hmm..
Kak Dani tumben SMS aku.
Dan dia ngajak aku pergi bareng?
Apa ini ulah kak Lintang ya?


Sudah kukatakan, kan?
Aku sebenarnya nggak pengin pergi ke malam perpisahan.
Dan sepertinya, aku akan tetap tidak pergi.


Maaf kak.
Ku nggak pergi malam perpisahan kok.
Ada acara keluarga gtu.
Sorry ya


Ku ketik balasan untuk kak Dani.
Aku tahu dia menyukaiku.
Kak Lintang juga pernah bilang ke aku.
Tapi aku cuma anggap dia teman saja.
Hm..
Sepertinya posisi kak Dani dan aku hampir sama ya?
Bedanya, kak Lintang sama sekali nggak tahu gimana perasaanku ke dia.
Dan, sejak kak Lintang memberi tahu perihal kuliah nya. Dia sama sekali nggak ngasi kabar ke aku.


Entahlah, mungkin dia memang sibuk mengurus administrasi kuliahnya.
Atau justru sibuk dengan Agatha?


*


"Sepertinya dia memang jatuh cinta"


"Aku rasa memang seperti itu. Wajahnya selalu berubah murung tiap kali aku tanya tentang dia"


"Kasihan anak itu"


"Apa nggak sebaiknya dia diberitahu?"


"Kami belum siap"


"Daripada dia semakin jauh"


"Iya. Kami tahu. Tapi memang belum saatnya"


"Jangan sampai dia terluka lebih dari sekarang"


"Semoga nantinya dia akan kuat"


**


Lintas benar-benar nggak dateng di malam perpisahan.
Sebelumnya dia memang pernah bilang kalau nggak bisa datang.


Dia bilang ada acara keluarga.
Aku tak tahu dia bohong atau tidak.
Aku juga nggak tanya apa-apa ke keluarganya.
Belakangan ini aku sibuk, bolak balik Jakarta juga untuk mengurus administrasi di universitas pilihanku.
Ya, aku akan lanjut kuliah di Jakarta.
Itu artinya aku jauh dari Lintas, juga Agatha.
Tapi dia nggak masalah kalau kami LDR.


"Kamu udah SMS Lintas, kan?"
Aku bertanya pada Dani yang datang sendiri, wajahnya tampak kusut, mungkin karena bayangannya bisa bersama Lintas tak terwujud.


"Udah. Tapi emang dia bilang gak bisa dateng. Ada acara keluarga. Acara apa sih?" Dani balas bertanya.


Aku menggeleng.
"Nggak tahu sih. Aku nggak kontak sama dia belakangan ini. Sibuk banget. Ini aja tadi pagi baru sampe Jogja lagi"


"Iya iya sibuk. Calon anak Jakarta."


Dani terkekeh meledek.
Aku segera menoyor dahinya yang langsung dibalas.


Bersamaan itu Agatha yang baru dari toilet menghampiriku lagi.
Malam ini dia terlihat lebih cantik, dengan balutan drees warna biru laut yang tampak serasi dengan kulitnya yang putih bersih.


Sayang sekali. Sebentar lagi kami akan LDR.
Semoga saja dia bisa menjaga kepercayaan ku di sini.


***


Aku memang benar-benar nggak datang malam perpisahan.
Lebih-lebih aku nggak sanggup kalau harus ketemu kak Lintang dan Agatha.


Apa jatuh cinta yang bertepuk sebelah tangan harus sesakit ini?


Aku meraih buku tebal pemberian kak Lintang.
Ku buka buku itu.
Sudah penuh dengan coretan-coretan.


Isinya tentang kak Lintang .
Ya. Semua.
Tentang kak Lintang.


Puisi-puisi yang menyiratkan sosok nya yang ku kagumi.


Puisi-puisi yang berisi tentang dirinya yang membuatku jatuh cinta sekaligus patah hati.


Semua tertuang di buku ini.
Dan, semoga suatu saat buku ini bisa dibaca kak Lintang.
Nanti, kalau aku mungkin sudah bisa melupakannya.
Jadi aku tak perlu malu lagi jika isi buku ini dibacanya.


Seperti matahari,
Hadirmu..
Yang menyengat namun juga kubutuhkan.
Untuk menyinari setiap lekuk kehidupanku.


Seperti bulan,
Wujudmu.
Yang senantiasa menemani kala gelap memelukku.


Seperti bintang,
Ragamu.
Yang menjadi pemenang atas hatiku.


Aku ini pemuja mu,
Setitik kecil yang butuh hangatnya pelukmu saat siang,
Yang butuh terangmu saat kelam.


****


Pagi ini Bunda membangunkan ku dengan sedikit memaksa.
Dia bilang ada tamu spesial yang mencariku.
Siapa?
Pagi-pagi begini?


"Lintas, ayo bangun buruan. Kamu sudah ditunggu di bawah"


Bunda menarik selimut tebal motif koala ku.


Aku bangun dan mengerjapkan mataku perlahan.


"Sebentar, Bunda. Nyawa Lintas belum terkumpul"


"Sebelum waktunya habis, sayang"


Bunda menggeretku keluar kamar.


Aku mengikutinya.
Aku sedikit heran. Memang siapa? Dan ada apa?


Sampai di ruang tamu.
Aku terbelalak mendapati kak Lintang yang sudah duduk dengan Ayah.


Kak Lintang lalu berdiri diikuti Ayah.


Aku mengamati kak Lintang.


Setelan kaos dan kemeja denim nya dipadu celana jeans belelnya tampak pas menempel di tubuh kak Lintang.


"Jam segini tumben baru bangun?"
sapanya, yang kemudian disambut senyum dari Ayah yang di samping nya.


"Semalam om lihat dia begadang. Nggak tau lagi ngerjain apa"
Ayah menjawab.


"Yaudah. Kamu cepet mandi aja. Habis itu kamu mau diajak Lintang keliling Jogja"


Hah? Apa?


Kak Lintang mengangguk penuh antusias.


"Buruan. Keburu Tamansari jadi panas banget" lanjut kak Lintang sambil melirik keluar jendela.


Matahari memang sudah agak meninggi.
Aku tersenyum lebar , lalu tanpa ba bi bu segera melesat ke kamar mandi.


---


Benar kata kak Lintang.
Tamansari jadi panas banget. Pantas saja sih, karena jam menunjukkan pukul 12 tepat.
Kami keliling Tamansari , keluar masuk bangunan yang dulu konon adalah kerajaan.
Kami memang sudah sering keluar masuk bangunan itu.
Sampai kami hafal jalan masuk sampai jalan keluar.
Kalau yang baru pertama kali masuk bangunan itu tanpa tour guide, dijamin pasti bingung tujuh keliling mencari jalan keluar.


Sudah satu jam kami mengelilingi bangunan besar bekas water castle ini.
Kami berhenti di kolam besar yang konon dulunya adalah kolam tempat mandinya para selir raja.


"Ah, panas banget hari ini. Andai aja boleh nyemplung ke kolam ini ya, Lin"


" Hahaha.. jangan, kamu kan bukan selir"


Kami tertawa renyah siang itu.
Dibawah matahari yang menyengat pekat.


Kami memutuskan untuk lanjut mengunjungi pantai Glagah. Untuk mengejar sunset di sana.


Kami tiba tepat pukul empat sore, ya mengingat jarak dari kota ke Kulonprogo sedikit jauh.

"Lin, kamu seneng nggak hari ini?"
Kak Lintang menyodori pocari sweat kesukaanku.

Aku tersenyum lebar dan mengangguk,
"Seneng banget kak. Makasih banyak ya"

Lalu, tiba-tiba kak Lintang merangkulku.
Dia memang kerap melakukan hal itu, tapi kali ini aku merasa sangat damai diperlakukan kak Lintang seperti itu.

Aku menyenderkan kepalaku di bahunya, seiring sang raja langit yang mulai pulang ke peraduannya.

Senja memang hadir sejenak,
tapi ia akan kembali datang.

*****

"Sayang, ayo bangun. Udah jam berapa ini? Anak Bunda kok tumben sampe jam segini bangunnya??"

Aku mendengar suara Bunda, memecah suasana romantis ku dengan kak Lintang .
Lagipula, ini kan sore hari. Bukan-
Apa?
Kok matahari muncul? Bukannya matahari sudah pulang ke peraduannya.?

"Anak Bunda kok jadi males gini? Mentang-mentang liburan, ya?"

Bunda merapikan buku-buku yang berserakan di atas ranjangku.
Aku bangun terduduk, mengerjapkan mataku yang sepenuhnya masih ingin terpejam.

"Semalam kak Lintang yang anterin Lintas pulang, Bun?"
tanyaku pada Bunda.

Aku nggak mimpi, kan?
Yang kemarin aku pergi seharian dengan kak Lintang kenyataan, kan?
Aku merasakan sekali tawanya dia, aku juga merasa nyaman sekali bersamanya. Apalagi saat bahunya menerima sandaranku.

Bunda mengeryit,

"Lintang? Lintas.. kemarin kamu di rumah seharian, dan lintang juga gak ke sini, kok"
jawab Bunda sambil melanjutkan merapikan buku ku di atas meja belajar.

Aku terperangah.
Benarkah aku hanya mimpi?
Tapi kenapa semua terasa nyata?

Bunda menghampiriku, membelai rambutku yang masih kusut.

"Kamu mimpi apa, sayang?"

Aku menunduk, haruskah aku cerita ke Bunda.

Akhirnya aku hanya menggeleng.
Biar saja kenangan dalam mimpi itu kupendam sendiri.

"Yasudah. Kamu mandi sana, trus sarapan. Jangan mentang-mentang liburan trus jadi malas, ya"

Aku mengangguk.

Bunda lalu keluar kamar. Membiarkan ku kembali larut dalam bayang-bayang mimpiku.

Mungkin, aku rindu kak Lintang.
Bukan, bukan mungkin lagi.
Tapi memang rindu.
Aku rindu kak Lintang.

Selama liburan ini kak Lintang memang tidak memberiku kabar, iya, sekalipun tidak.
Aku maklum, dia mungkin ke Jakarta mengurus untuk kuliahnya.
Dan sepengetahuanku, Agatha juga ikut liburan di sana.
Dan, aku benci dengan hal itu.

Tempo hari, kak Dani menyatakan bahwa ia mencintaiku.
Aku menolaknya secara halus.
Karena aku memang tidak ada rasa sedikitpun padanya.
Berbeda dengan kawannya, kak Dani masih tetap stay di Jogja. Dia melanjutkan studi nya di UNY.

Kak Ari seolah menggantikan posisi kak Lintang , tapi tetap saja posisi kak Lintang di hatiku tak akan pernah ada yang bisa menggantikan.

*

"Halo, Lin"

"Kak Lintang? Iya, kak"

"Lin, nanti sore ngopi yuk"

"Kak Lintang memangnya udah di Jogja?"

"Udah, kemaren malem sampe rumah. Mau nggak?"

"Oke kak. Mau, udah lama nggak ngopi juga sama kak Lintang"

"Iya sih, sorry. Aku sibuk ngurus administrasi di Jakarta, belom lagi nyari kontrakan"

"Iya iya. Aku ngerti kok."

"Yaudah nanti sore aku jemput, ya"

"Iya kak"

**

Sore ini kak Lintang mengajakku ke coffeeshop favorit kita.
Aku senang sekali , dan sebelum pergi tadi aku memastikan bahwa ini tak akan menjadi mimpi seperti kemarin lalu.

Sudah lama aku tak bertemu kak Lintang sejak sekolah libur.

"Apa kabar, Lin? Baik kan?"
tanya kak Lintang

Aku mengangguk, sebenarnya sedikit ragu, apa aku baik-baik saja selama ini?

"Baik kok, kak. Gimana? Udah selesai urusannya?"

Ganti kak Lintang yang mengangguk antusias. Sepertinya dia bahagia sekali bisa melanjutkan studi nya di sana.

"Udah. Besok aku udah pindah ke sana. Makanya ngajak kamu ke sini, sekalian pamit"

Hah? Besok?

"Besok malem anterin dari bandara ya, Lin"

Aku menyesap kopi pahitku, lagi-lagi ini terasa pahit seperti kenyataan yang harus ku sesap juga.

"Besok ya, kak?"
tanyaku, lirih.

"Iya. Oh ya, jalan-jalan ke alun-alun kandang macan sama Malioboro yuk. Sekalian aku mau cari celana sama sendal. Persediaan kali aja males nyuci. Hehe"

Jadi, ini sore dan malam terakhir?
Untuk selanjutnya, waktu akan terasa lama tanpa kak Lintang.

Entah kenapa, tiba-tiba aku benci pada jarak dan waktu.
Tapi tetap saja, aku tak bisa benci pada kak Lintang yang sudah merengkuh jarak.

"Kak..."

"Kenapa, Lin?"

"Kita gak bisa sering ketemu, dong"

Kak Lintang terkekeh,

"Tapi masih bisa ketemu, Lin. Tiga bulan sekali aku pulang Jogja kok"

Tetap saja tak seperti dulu.
Apalagi mungkin kalau kak Lintang pulang pun, yang jadi sasaran rindunya pasti Agatha.

"Kamu jaga diri baik-baik di sini ya, Lin"

Aku mengangguk pelan, dan tersenyum.

"Si Ari mungkin bisa gantiin posisi aku"

Aku sedikit terkejut mendengar kalimat kak Lintang.
Kak Lintang justru terkekeh geli.

"Kamu lagi deket sama Ari , kan?"

Aku mengeryit,

"Enggak juga. Kok kak Lintang tau?"

"Bukannya dia sering ajak kamu jalan-jalan, ya?"

"Ya, cuma kalau pas dia lagi butuh temen."

Kak Lintang manggut-manggut.

"Makanya, dia bisa gantiin posisi aku selama aku nggak di Jogja"

Tapi dia nggak akan bisa gantiin posisi kak Lintang buatku.

"Aku juga titip Agatha ya, Lin"
lanjut kak Lintang.

Hmm.. benar, kan?
Pasti kak Lintang akan menjadikanku jasa penitipan.

Aku tak begitu dekat dengannya, kami hanya dekat saat naik bus sekolah, bukan?

Tapi bagaimanapun, aku mengiyakan saja permintaan kak Lintang.

***

Kak Lintang sudah berangkat kemarin.
Sesuai janjiku, aku mengantarnya.
Agatha juga ikut mengantarkan. Ya itu memang pasti.

Sebelum berangkat, aku sempat memberi kak Lintang bingkisan kecil berisi gelang yang terangkai dari biji kopi.
Semoga dia akan memakainya, dan dengan memakainya, dia akan ingat denganku.

****

Sudah dua bulan tanpa kak Lintang.
Sudah hampir dua bulan juga aku duduk di bangku baru kelas dua belas  bahasa.
Agatha sudah pasti satu kelas denganku, sudah kubilang kan kelas bahasa di tiap angkatan hanya ada satu kelas.

Aku memenuhi janjiku pada kak Lintang untuk menjaga Agatha.
Walau memang nggak secara langsung, karena Agatha sepertinya memang tak ingin dekat denganku.
Buktinya, sekarang dia nggak duduk di samping ku lagi saat naik bus.
Apalagi di kelas. Dia memilih duduk bersama Intan si ketua kelas.

Aku sih nggak masalah, yang pasti aku terus menjaga Agatha untuk kak Lintang.

Kak Lintang memang masih kerap menelepon ku, mengirim pesan juga email .
Tapi yang sering membuatku sedikit kesal, pasti hal pertama yang ditanyakan adalah Agatha.
Aku tau kak Lintang sendiri juga pasti lebih sering menghubungi Agatha. Mungkin dia takut saja kalau Agatha justru nantinya berpaling dari kak Lintang.

Selama ini sepengetahuanku Agatha tetap menjaga hatinya untuk kak Lintang.
Seperti aku yang terus menjaga perasaan ini, walau nggak akan pernah dibalas kak Lintang.

-

Pagi ini, Agatha nggak naik bus sekolah.
Apa dia nggak masuk? Sakit?
Apa kak Lintang tahu?

Dia masuk sekolah.
Dia sudah duduk manis di bangkunya, sambil bibirnya terus mengoceh dengan Intan.
Wajahnya tampak bahagia.
Syukurlah, dia nggak sakit.

"Kayaknya kak Irham suka beneran sama kamu lho, Tha"

Sayup-sayup kudengar Intan meluncurkan kalimat itu sambil cekikikan.
Agatha yang menjadi lawan bicaranya juga turut tertawa riang.

Irham? Dia kan kakaknya Intan.

Kak Irham suka Agatha?

--

"Dahh Tha.. Ati-ati ya. Kak Irham jangan ngebut"
Seru Intan sebelum melepas kepergian Agatha dan kak Irham yang berboncengan naik motor.

Aku mengintip dari balik mobil Pak Trisna yang memang diparkir dekat gerbang.

Lalu, Intan yang tak lama juga dijemput pacarnya, yang notabene anak sekolah lain segera meluncur meninggalkan sekolah.

Jadi ini alasan Agatha tak lagi naik bus sekolah?

Eh, ngomong-ngomong bus sekolah.
Aku segera melesat meninggalkan gerbang dan berlari menuju parkiran bus sekolah.
Semoga aku tidak ditinggal. Mengingat sudah cukup lama aku mengintai mereka.

---

"Agatha gimana, Lin?"
Kak Lintang meneleponku malam ini.

Seperti biasa, hal pertama yang ditanyakan adalah Agatha.

Lalu, mengingat kejadian tadi pagi dan tadi siang, apa yang harus ku jawab untuk pertanyaan kak Lintang?

Aku menggigit bibir bawahku.

"Lin... Masih melek, kan?"
Suara kak Lintang yang terdengar tak sabar segera menyadarkanku dari lamunan ku.

"Eh, iya. Masih kok, kak"

"Pertanyaanku nggak dijawab, deh"

Aku memejamkan mata,

"Agatha baik-baik aja lah kak."

Dan aku berbohong.
Tak mungkin juga aku mengatakan bahwa tadi dia nggak naik bus sekolah, dan justru dijemput oleh kak Irham.

"Dia bilang nggak akan naik bus sekolah lagi, soalnya kakak sepupunya pindah Jogja dan siap antar jemput Agatha"

Damn!

Kalimat kak Lintang barusan kok malah jadi menusuk ulu hatiku ya?

"Oh, pantas tadi dia nggak naik bus"
aku mencoba mengatur nafasku.
Mencoba setenang mungkin.
Lagipula aku belum tahu kebenarannya.

Kalau besok-besok Agatha diantar jemput kak Irham, berarti dia bohong pada kak Lintang.

Lalu, kami ngobrol banyak hal selain Agatha.
Tapi entah kenapa, hatiku kok masih terasa sakit kalau mengingat Agatha dan penuturan kak Lintang.

---

Esoknya, Agatha memang nggak naik bus sekolah lagi.
Dan kali ini, aku benar-benar memergoki nya diantar oleh kak Irham.

Pandangan kami sempat beradu.
Lalu tak lama, Agatha membuang muka dan kembali sibuk ngobrol dengan kak Irham.
Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan.
Dan aku segera saja menuju kelas.

Perasaanku semakin berkecamuk.
Bagaimana kalau kak Lintang tahu?
Ini artinya Agatha sudah bohong kan pada kak Lintang?

Kak Irham sama sekali bukan kakak sepupunya Agatha.
Apalagi mengingat celetukan Intan kemarin pagi.

"Jangan ngadu ke Lintang tentang apa yang lo liat tadi"

Jantungku mencelos saat mendengar bentakan yang keluar dari mulut Agatha.
Ya Tuhan, dia membentak.
Dia seperti bukan Agatha yang kukenal pertama kali dulu.
Gaya bicaranya juga sudah berubah jadi pakai logat anak Jakarta.
Sejak kapan dia seperti ini?
Apa sudah lama? Ya mengingat bahwa aku nggak pernah lagi bicara padanya sejak liburan tahun ajaran lalu.

"Karena bentar lagi juga aku bakal bilang sendiri ke Lintang. Ngerti nggak lo?"

Aku hanya terdiam, namun sorot mataku tajam menatapnya.

Agatha memang sudah berubah.
Dan ini nggak bisa dibiarkan.
Kak Lintang pasti terluka kalau seperti ini.

"Sejak kapan kamu selingkuh dari kak Lintang?"
tanyaku geram.

Agatha terkekeh, nadanya meremehkan.

"Alahh.. tau apa sih lo tentang hal-hal cinta kayak gini? Udah deh, lagian bentar lagi gue juga minta putus dari Lintang."
jawabnya enteng. Dan berlalu menuju bangkunya.

Tiba-tiba aku merasa benci sekali pada Agatha.
Dan kak Lintang harus tahu secepatnya.
Dia nggak boleh terluka lebih dalam lagi.

----

Aku menelepon kak Lintang malam ini.
Panggilan tersambung,

"Hai, Lin. Tumben nih telepon duluan"
sapa kak Lintang dari ujung sana.

Aku tiba-tiba terdiam, apa yang harus kubilang pada kak Lintang.

Dan aku baru ingat, aku sama sekali tak punya bukti apa-apa untuk membuktikan bahwa Agatha selingkuh.

"Haloo.. Lin? Kok malah diem, sih?"

Aku mengerjapkan mataku.
Tidak. Aku tak akan cerita dulu sebelum punya bukti.
Kalau cerita sekarang, mungkin saja kak Lintang menuduhku fitnah. Dan dia bisa marah padaku.
Nggak. Aku nggak mau hal itu terjadi.

"Emm.. Ini kak. Mau bantuin aku cari ide buat tugas Mading nggak?"
aku ngeles juga akhirnya.
Sebenarnya aku nggak bohong. Memang ada tugas mading untuk kelas bahasa.

"Oh.. Sejak kapan kamu tanya ke aku buat cari ide. Bukannya kamu yang banyak ide, Lin"
Kak Lintang terkekeh di ujung sana.

Aku meringis.
Memang, kedengarannya aneh kalau aku meminta bantuan kak Lintang tentang hal ini.
Tapi memang hanya itu alasan yang muncul di kepalaku.

"Hehe. Lagi blank, kak. Bikin artikel sih. Enaknya tema apa, ya?"
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali nggak gatal.

"Hmm.. gimana kalo tentang perkembangan teknologi dan media sosial yang lagi menjamur. Sekarang kan ada tuh kayak Friendster, dan lainnya. Gimana kita anak-anak generasi milenial menyikapinya."
terang kak Lintang.

Aku mengangguk-angguk.
Iya, sepertinya ini akan jadi artikel yang menarik.
Aku akan mengganti tema tentang budaya di Jogja dengan tema dari kak Lintang.

"Ide bagus, kak. Aku nggak kepikiran lho"

"Tumben deh idenya nggak nongol. Lagi ada masalah ya?"

Enngg...

Aku kembali terdiam.
Pertanyaannya barusan itu seolah dia tahu apa yang sedang menggangguku sekarang.
Iya, pikiran tentang kak Lintang dan Agatha. Tentang hubungan mereka lebih tepatnya.

Ah, sudahlah.
Aku cuma perlu bukti dulu baru bisa membuktikan ke kak Lintang.
Dan semoga kak Lintang tak terluka terlalu dalam.
Mengingat bahwa Agatha adalah cinta pertamanya.

****

Beberapa hari ini aku merasakan bahwa sikap Agatha sedikit berubah padaku.
Panggilan ku sekarang lebih sering diabaikannya.
Pesan-pesan ku juga jarang dibalas.
Kalaupun dibalas pasti dia banyak alasan, seolah-olah nggak ingin berlama-lama chatting denganku.

Ada apa dengannya?

Lintas bilang bahwa Agatha baik-baik saja di sana.

Ah entahlah.

Dua hari lagi aku pulang Jogja.
Seharusnya masih satu bulan lagi jatahku bisa pulang.
Tapi kebetulan, ada libur agak panjang bulan ini.
Yasudah, aku pulang Jogja saja.
Aku rindu ke dua orang tua ku, rindu Lintas, terlebih rindu pada Agatha.

Dan untuk kepulanganku dua hari nanti, sengaja aku tak bilang pada siapa-siapa.
Ya.. biar surprise sih. Hehe.

Aku juga sudah menyiapkan kado kecil untuk Agatha.
Kubelikan ia kalung dengan liontin lumba-lumba, kurasa pas dan cocok dipakai di lehernya.
Semoga saja ia suka.

-

Aku akan tiba di rumah setengah jam lagi.
Ojek yang membawaku dari bandara sudah sampai di jalan Fatmawati.
Tiba-tiba aku merasa lapar.
Kuputuskan untuk mencari makan dulu sekalian mengajak abang ojek makan siang.

Abang ojek mau kuajak makan siang.
Aku minta kita ke berhenti di kawasan UGM saja.
Di sana ada warung nasi opor enak.
Tempatnya tepat di depan gedung fakultas hukum kampus UGM.
Beruntung sekali aku warung ini buka.

Aku segera turun, dan hendak masuk warung.
Tapi pandanganku tiba-tiba tertambat pada sosok yang ku kenal.
Wajah cantik, dengan rambut lurus panjangnya sedang memeluk mesra seorang lelaki yang tak ku kenal.
Sejenak mereka tertawa, tampak bahagia sekali.

Aku menyipitkan mataku, untuk bisa lebih jelas melihat sosok itu.
Benar. Memang dia.

"Mas, lha kok malah ngelamun iki lho"
(Mas, kok malah bengong)

"Oh, bentar pak. Bapak tunggu sini bentar, ya. Saya nggak berusaha lari kok. Ini tas saya bawa bapak. Saya mau ke sana sebentar"
aku berbicara cepat, sambil menaruh tas punggungku di jok motor si abang ojek.

Tanpa persetujuan dari bang ojek, aku segera menyebrang menuju kampus UGM.

"Agatha!"
seru ku pada sosok yang ku gilai saat ini.

Agatha menoleh, dia tampak kaget. Lalu berusaha menghilangkan ekspresi kagetnya.
Cowok yang di rangkulnya berdiri dari duduknya.

Kami berpandangan.
Aku geram.
Tanpa basa basi lagi, ku tonjok muka cowok itu.

Agatha memekik kaget.
Dia berusaha menghentikan ku.

"Cukup, Lintang!!"

Aku menoleh pada Agatha. Mataku dan matanya beradu.

"Jadi selama aku pergi, kamu kayak gini?"

"Itu karena aku gak mau LDR!"

Pernyataan Agatha seketika menorehkan perih.

Cowok tadi ikut bicara,
"Agatha udah jadi pacar aku. Dia itu udah bilang kalo mau mutusin situ"

"Kita putus, Lintang"

Damn!!

Jadi begini?
Ah! Niatku pulang ingin memberikan kejutan, tapi kenapa aku yang dapat kejutan sakit seperti ini??!!?

--

Aku tak langsung pulang.
Aku ke rumah Dani.
Dani yang melihatku tiba-tiba datang dengan muka kusut segera menyuruhku masuk rumahnya, yang selalu sepi.

Aku menceritakan semuanya pada Dani.
Entah kenapa aku merasa malu sendiri.

"Seenggaknya, kamu sekarang tau. Daripada kamu tau nanti-nanti. Kan malah lebih sakit, tho"

Kurasa benar juga.

Sejak kapan Agatha menjalin hubungan dengan cowok itu?
Dan kenapa Lintas selalu bilang kalau nggak ada apa-apa sama Agatha.
Atau justru dia tahu semuanya tapi nggak ingin memberitahuku?

Aku harus bertemu Lintas.

"Aku mau ke rumah Lintas"
pamitku pada Dani.

Dani tersenyum tipis.
"Nah, temui Lintas deh. Dia kan sahabat mu. Salam juga buat dia yo"

Apa Dani masih punya rasa sama Lintas, ya?
Ah entah. Aku mau bertemu Lintas sekarang juga.

---

Rumah ini tampak sepi.
Aku memasuki pekarangan.
Sudah hampir jam 7 malam.
Lintas pasti di kamarnya.

Aku memencet bel.
Tak lama, Bunda membukakan pintu, beliau sedikit terkejut melihatku datang.

"Lho, Lintang. Kapan pulang? Ayo masuk"

Bunda menyambutku,
Aku pun menurutinya masuk ke ruang tamu.

"Emm.. Lintas nya ada, Bun?"

"Udah Bunda tebak, pasti kamu nggak bilang kalau mau datang. Jam enam tadi dia diajak keluar sama Ari"

Aku menghela nafas.
Lintas sekarang sedekat apa sama Ari?
Dia nggak pernah cerita.

"Kalau mau ditunggu gak apa-apa. Mau minum apa? Bunda bikinin"

"Eh, nggak usah Bun. Ngerepotin. Saya tunggu aja, tapi nggak usah disuguhin apa-apa Bun"

Lama aku nggak main ke rumah ini.
Rasanya kenapa kangen, ya?

"Yasudah kalau gitu. Tapi kalau haus, ambil sendiri di dapur gak papa. Biasanya juga gitu kan?" Bunda tersenyum lebar.

Aku balas tersenyum.

"Bunda tinggal dulu sebentar, ya"

Bunda pamit ke dalam.

Aku menunggu Lintas.
Menyandarkan kepalaku di senderan sofa merah maroon ini.
Kepalaku terasa pening sekali.
Masih terngiang wajah Agatha yang ternyata mengkhianatiku.

----

"Lho kak Lintang?"

Aku sedikit kaget melihat sosok itu tertidur di atas sofa rumahku.
Wajahnya terlihat kuyu, rambutnya acak-acakan.

Bunda lalu berbisik dan memberi isyarat untuk bicara pelan-pelan.

Aku berhambur ke arah Bunda,

"Sejak kapan kak Lintang di sini?"

"Tadi satu jam setelah kamu pergi. Dia nggak bilang sama kamu kalau mau ke sini?"

Aku menggeleng cepat.
Aku juga nggak tahu kalau kak Lintang pulang Jogja.

Ini kejutan.

Aku masuk kamar mengganti baju.
Lalu keluar dan masih mendapati kak Lintang tidur dengan nyenyaknya.

Ku singkirkan tas punggungnya menjauh dari badannya.
Ku tutup separuh badannya dengan selimut tebal milikku.
Kak Lintang mendengkur halus.

Kuperhatikan dengan seksama wajahnya.
Benar-benar wajah lelah.
Apa dia langsung ke sini setelah sampai di Jogja?
Aku berasumsi seperti itu karena adanya tas punggung milik kak Lintang yang masih dibawanya.
Karena nggak mungkin kak Lintang ke rumahku bawa-bawa tas kecuali kalau memang ada janji mau pergi denganku.

Biar saja kak Lintang tidur.
Sudah pukul sepuluh lebih juga.
Pasti dia capek.

Ah.. Ini memang kejutan.

Selamat malam kak Lintang.

*

"Mbak, Lintang di rumah saya"

"Lho? Masa? Dia belum jatah pulang"

"Berarti dia nggak pulang ke rumah dulu ?"

"Ada-ada saja anak itu"

"Dia cari Lintas, kebetulan anak saya pergi sama Ari"

"Yasudah. Biar saja dia di sana, ya"

"Mbak, kapan saya bisa memberitahu anak saya? Apa nggak lebih cepat lebih baik?"

"Belum saatnya"

"Kasihan anak saya, dia jatuh cinta sungguh-sungguh dengan Lintang"

"Saya yakin, kalau Lintas sudah tahu siapa Lintang, perasaan Lintas akan berubah"

"Pasti itu akan sangat melukai hati anak saya, mbak"

"Saya tahu. Tapi ini sudah kehendak Tuhan, bukan?"

"Saya nggak tega nantinya, mbak"

"Kuatkan Lintas, ya. Tolong jaga Lintang juga"

"Iya mbak. Maaf ganggu mbak malam-malam."

**

Yuhuu...
Part 3 sudah selesai.
Hayoo.. penasaran nggak sama kelanjutannya??
Jangan sampai ketinggalan part selanjutnya ya guys 😊

Maaf kalo masih banyak typo.
Dan maaf kalau banyak garing nya di part ini .
Semoga part selanjutnya lebih menarik lagi yaa 🙏

See you ~

Komentar