Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Our Story 'Introduce'

Pukul 4 sore. Oriel bersiap untuk latihan, 2 minggu lagi ada turnamen basket antar sekolah. Seperti biasanya, SMA Bina Nusantara selalu maju. Awal tahun lalu sekolah ini menduduki peringkat 1 sekota Bandung. Tim basket putri SMA Bina Nusantara memang selalu menduduki peringkat, dengan Oriel sebagai kaptennya. "Hei Riel, siap gak nih? Bawa nama sekolah lagi.." Seorang gadis berambut pendek bernama Vira menghadang Oriel saat akan masuk lapangan. Oriel memutar bola matanya. "Lo gak perlu jawaban dari gue, kan?" Vira hanya tersenyum sinis mendengar jawaban Oriel. "Selamat berlatih, sayang.." Vira mengedipkan mata kirinya. "Lo ngapain juga di sini? Oh gue tau, lo mau cari tahu kelemahan gue kan? Haha . Its okay Babe.. you know that its so useless" Oriel segera berlari masuk lapangan dan bergabung dengan kawan-kawannya tanpa perduli lagi dengan Vira. Vira mendengus kesal. Dia tahu kalau Oriel memang tidak bisa dikalahkan. Sekolah Vira meman

Our Story 'Rival'

Suara deru motor terdengar merajai jalan Sudirman malam ini. Puluhan anak gank motor memadati daerah sepi ini. Malam Sabtu seperti ini biasanya memang dijadikan malam ajang BaLi alias Balapan Liar. Yudha yang malam ini memakai jaket kulit hitamnya juga turut bergabung dengan kawan-kawannya. Cowok itu sudah sejak satu jam lalu duduk di atas motor sport hitam kebanggaannya. Dia dan gerombolannya sedang menunggu rival mereka. "Gak berani dateng palingan si Roy, nih" kata Juna, salah satu kawan Yudha yang terkenal tidak sabaran. Beberapa anak mengangguk, setuju, "Iya cemen tuh si Roy" sahut Irwan. Yudha yang sedari tadi tetap tenang, hanya diam sambil terus menyesap rokok aroma cappucino kesukaannya. Tak lama , terdengar raungan deru motor dari arah barat. Tampak 6 motor menghentikan lajunya tepat di dekat pohon akasia, tak jauh dari gerombolan Yudha berada. "Dateng juga dia" "Berani juga si cemen satu ini" Beberapa komentar segera terlon

Rumah --Tentangmu, kawan--

Halusinasi mu mulai memuncak, Pikiranmu pun ikut tergerak, Mengikuti sedap aroma arak, Tanpa berfikir kau telah membuat jarak.. Kau hebat menentukan arah, Dengan putih matamu yang kian memerah, Kau yang bersembunyi di balik kerah.. Kawan.. Kau tau apa artinya bertahan? Kurasa kau memang sedang berusaha menahan.. Perih dalam gejolak jiwamu yang sangat tertekan.. Taukah kau tempat mu berlindung? Dari dunia yang membuatmu linglung, Hiraukan saja suara-suara yang berdengung, Lanjutkan saja fantasimu dalam kidung.. Kau hanya perlu kuamati dari jauh, Kawan.. Saat kau sudah jenuh, Panggil saja aku ketika kau ingin mengaduh.. Kudus, 13 Desember 2017

Bulan terluka (lagi)

Bulan mengerang meredup perlahan Memusnahkan pancaran sejuta perasaan tertahan Bulan merenung di bawah kaki sang bintang Merintih berderai mengiba hati yang kian terkenang.. Desember.. Bulan mengingat mu sebagai pertanda patah hati Bulan menuliskanmu dalam cabikan nurani Perih.. Berulang kali.. Menghadirkan sakit yang senantiasa berbeda, Namun tetap melukai.. Tuhan.. Dengarkan bulan mengais kemurahan Mu Lihatlah bulan mengobati dan menutup bilur tercampur debu.. Kasih.. Bulan mengharap sedikit jiwa, Bulan telah beradu dengan senja, Bulan terluka.. Lagi.. Berulang kali.. Dan sampai bulan mati..

Our Story 'Masa SMA'

Siang itu matahari terik sekali. Seakan ingin menghanguskan apa saja yang bernaung di bawahnya. "Huft! Mataharinya gak bisa biasa aja kali, ya!" seorang gadis berambut ekor kuda mengeluh sambil menyeka dahinya yang bercucuran keringat. Tampaknya gadis itu baru saja selesai latihan basket. Tiba-tiba dari arah kanannya sebuah bola bercorak warna kuning dan putih melayang gesit, dan ! Dash ! Tepat sekali mengenai kepala samping kanan gadis itu. Seketika gadis itu ambruk. Terlihat rombongan laki-laki segera menghampiri gadis yang sudah tersungkur itu. "Wah pingsan nih" kata salah seorang di antara mereka "Alahh paling akting doang dia" sahut cowok paling tinggi diantara mereka bersepuluh. Cowok itu lalu jongkok di samping gadis itu. Mengamatinya sebentar lalu mencolek hidung mancungnya. "Oi Riel! Bangun ! Gak usah akting deh lo" Tak ada sahutan sama sekali. Tubuh lemas itu tetap bergeming. "Tuh kan pingsan, Yud!" seru temannya l

Pertemuan

🎶 Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu.. Desau angin meniupkan namamu.. Tubuhku terpaku semalam 🎶 Kupetik gitar kesayanganku, bibirku melantunkan satu lagu yang entah mengapa ingin sekali aku nyanyikan malam ini. Aku teringat Orin, aku terbisik nama itu. Beberapa bulan ini perasaanku sedikit aneh terhadapnya, aku masih takut menerka. Aku hanya merasakan sesuatu yang berbeda sejak gadis itu terluka . 🎶 Bulan sabit melengkungkan senyummu.. Tabur bintang serupa kilau auramu.. Akupun sadari ku segra berlari 🎶 Kubayangkan jika dia tersenyum, lesung di pipi kirinya kini memabukkanku. Ingin aku memilikinya seutuhnya. Namun apa aku bisa? Dia sahabatku, dia menganggap ku hanya sahabat. Dia mencintai seseorang yang menorehkan luka untuknya. Aku bisa apa? Aku hanya bisa menjadi 'pelarian' nya. Dan aku tetap ingin menjadi pelarian nya, asal dia tidak terluka lagi. Aku juga suka caranya memperlakukan anak-anak, dulu saat kami masih sama-sama 'berdua' , aku tidak begitu

Memory

"Aduh! Sakiitt..." aku berusaha menutup luka di dengkul ku akibat terjatuh dari pohon jambu yang barusan kupanjat. Hari habis hujan, karuan saja batang pohon yang tiap hari rela kupanjat ini jadi basah dan agak licin. Aku yang nekat saja tetap ingin memanjat akhirnya tergelincir lalu mendarat tepat di atas kerikil-kerikil tajam yang melukai dengkulku. Air mataku mulai menetes menahan perih di kakiku. Orang tuaku sedang tidak di rumah. "Kamu kenapa?" tiba-tiba ada seorang yang mendekati ku dan membantuku berdiri. Kutebak usianya tak beda jauh dariku. Tapi aku belum pernah melihat anak ini sebelumnya. Aku berhasil mencapai teras rumahku setelah dipapah anak laki-laki ini. Dia lalu berlari sambil teriak "Tunggu aku ambil obat di rumahku dulu" Aku sempat melongo. Ambil obat di rumahnya? Memang di mana rumahnya? Kalau jauh ya keburu luka ku tambah perih ini. Tak lama dia kembali dengan menggandeng seorang yang kutafsir seusia dengan ibuku. "Jatuh

Kita

"Aku lagi di gereja, Lis. Abis ini ada latihan musik juga buat kebaktian besok minggu" aku menjawab panggilan Elis. "Oh yaudah kalo gitu." katanya setelah beberapa saat terdiam. Aku merasakan ada sedikit kekecewaan dari nada bicaranya. Kemarin dia mengundang aku untuk hadir di acara keluarganya, acara memperingati 7 bulanan kakaknya yang sedang hamil. Tapi aku sudah memberi alasan bahwa aku tidak bisa hadir hari ini, karena tugas yang tidak mungkin juga aku tinggalkan. "Maaf Lis, besok sepulang gereja aku ke rumah kamu , -Tuuut tuutt tutt- Pembicaraan ditutup sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Huftt.. Aku menghela nafas pelan, hal seperti ini memang kerap terjadi pada hubungan ku dan Elis. "Woi Bin! Buruan ayo latian!" seru salah satu temanku yang membuyarkan lamunan singkatku. Aku segera berlari kecil menuju gitar yang dipercayakan padaku untukku mengiringi kebaktian tiap minggu. "Wahh tambah nempel aja nih kalian berdua" &q

Secangkir pahit

Gambar
Aku menyeruput pelan espresso ku, masih panas. Namun entah mengapa dingin yang justru kurasakan. Ku edarkan pandangan ku sekeliling kedai kopi favorit ku, agak sepi. Huft.. setidaknya aku bisa lebih sedikit tenang dengan suara yang tidak terlalu bising. Ku raih ponsel yang sedari tadi diam tergeletak di atas meja kayu, di mana secangkir pahitku juga tersaji di atasnya. -Tuutt- Menyambung. "Halo Rin?" sapa seseorang dari seberang sana, "Halo, Bin. Bisa ketemu malem ini ngga?" "Kebetulan Rin, aku juga tadinya mau ajak kamu ketemu sih. Yaudah, di kedai biasanya?" Aku mengangguk, gerakan reflek yang kutahu Arbin gak akan bisa melihat gerakan ku. "Iya, Bin. Aku tunggu ya. Bye" Ku tutup saluran telepon tanpa susah susah mendengar persetujuan dari Arbin. 15 menit berlalu, espresso ku mulai dingin. Juga hampir habis. Aku memutuskan untuk memesan lagi secangkir pahit. Kali ini aku ingin menyesap robusta Muria kesukaan ku. Aku memang suka pahi

Dari aku yang kau anggap bocah

Aku yang bagimu hanya seorang bocah, aku yang kau anggap belum dewasa. Mungkin kamu benar.. Karena jika tidak, kau tak akan meninggalkan ku , bukan? Maaf, untuk sikapku yang kerap membuatmu jengah, membuatmu risih terhadapku. Maaf untuk banyaknya kecewa yang aku beri padamu. Aku tahu banyak kurangku. Keras kepala, egois, pencemburu, bahkan pemarah. Namun kau tahu mengapa apa bisa sedemikian rupa terhadapmu? Aku rasa kau hanya anggap aku bocah. Ya.. karena hanya itu yang kau pikir tentang ku. Mungkin sekarang kau telah bahagia di sana, dengan seseorang yang menurutmu lebih pantas buatmu. Tak apa.. aku rasa kau pantas mencari bahagiamu. Aku tahu kau butuh seorang yang mungkin bisa lebih mencintaimu daripada aku. Yang bahkan sifatnya bisa kau bandingkan denganku. Kau benar, menjalin hubungan memang bukan sekedar cinta, Namun, sikap menghargai pasangan juga turut ambil bagian dalam hubungan. Terimakasih kau telah mengajarkan hal itu, walau akhirnya bukan dengan kamu aku akan pra

Malam dan pekatnya rindu

Selamat malam pekat yang selalu mengisi kolam rinduku.. Yang kutahu bisa saja tumpah ruah atau malah justru membeku..