Lintang Lintas Senja -Part 2- 'Grow Up'

Katanya, masa putih abu-abu itu masa yang paling indah?
Bagiku, mungkin iya, mungkin tidak.
Sudah hampir 6 tahun aku dan kak Lintang bersahabat.
Iya sejak dia jadi anak SMP, dia masih tetap mau berteman denganku.
Menemaniku saat hari minggu.
Kadang kami juga bersepeda sampai ke alun-alun kandang macan.
Pernah juga waktu SMP dia mengajakku bersepeda sampai ke Malioboro.
Memang sih, jarak dari rumahku ke Malioboro termasuk dekat. Kalau bersepeda paling 30 menit sampai.

Aku ingat, saat itu dia mengajakku membeli gelang yang terbuat dari tali rami dihiasi bandul-bandul kecil berbentuk bulan.
Harganya empat ribu rupiah saat itu.
Tapi gelang itu sudah tak tahu dimana berada. Maaf, aku telah memusnahkan pemberian ke dua dari kak Lintang.

Kak Lintang juga mengajakku makan makanan khas Palembang di salah satu gerai dekat Malioboro.
Empek-empek Nyonya Kamto yang sudah terkenal di Jogja.
Dan itu kali pertama aku makan empek-empek.

Itu sedikit cerita saat kami masih SMP .
Dulu kami bersekolah di SMP yang berbeda.

Dan sekarang, kami sudah SMA.
Dan, kami satu sekolah.
Ini memang aku sengaja saja.
Aku ingin satu sekolah lagi dengan kak Lintang.
Jadi waktu kelulusan SMP, aku menanyakan di mana SMA kak Lintang.

Sekolah kami agak jauh dari rumah kami yang ternyata memang tergolong dekat.
Hanya dengan naik sepeda sekitar 15 menit, aku bisa sampai di rumah kak Lintang.
Maka itu, kami selalu pergi pulang ke sekolah menggunakan fasilitas bus sekolah.
Aku selalu duduk di depan, dan kak Lintang di belakang dengan teman-temannya.

Dan ini, sedikit kisah masa putih abu-abu ku bersama kak Lintang.

*

Ini tahun ajaran baru. Dan ini hari senin pertama naik bus sekolah ini lagi setelah hampir satu bulan libur.
Pak Rahmat, supir bus sekolah yang selalu menampung kami seperti biasa bersiul-siul riang pagi ini.
Bus belum ramai, dan bangku di sampingku masih kosong.
Biasanya memang sering kosong daripada terisi.
Yah, mungkin predikat anak kuper masih tercetak jelas di dahiku.

Aku menengok ke belakang.
Kak Lintang dengan teman-temannya kulihat sedang asyik dengan mainan rubik mereka.
Sepertinya mereka sedang berlomba.
Siapa yang duluan berhasil membentuk gambar , dia yang menang.
Aku sudah tahu kebiasaan kak Lintang dengan permainan rumit itu.
Dia itu jagonya main rubik.
Seakan-akan rubik itu bisa dibisiki oleh kak Lintang "Hei, ayo cepat jadi gambar Pokemon". Dan tak ada 15 menit, terpampang gambar Pokemon di atas kotak-kotak kecil itu.
Dan paling-paling taruhan mereka, yang memang akan ditraktir di kantin Kang Padi.

"Boleh duduk sini?"

Sebuah suara membuyarkan lamunanku tentang kak Lintang.
Aku mendongak sedikit dan melihat seorang gadis cantik sedang tersenyum.
Aku membalas senyumnya lalu mengangguk.
Siapa dia? Aku tak pernah melihatnya jadi penghuni bus ini.

Gadis itu duduk, dan meletakkan tas selempang warna merah mudanya di atas pangkuannya.
Tas nya cantik. Dengan motif Hello Kitty yang memang identik dengan perempuan.

"Aku baru sekali ini naik bus ini"

Gadis itu berkata demikian, aku terkejut. Dia seakan tahu keherananku tadi.

"Oh, iya. Pantas saja enggak pernah lihat kamu" sahutku, sambil tersenyum.

"Kelas berapa?" tanyanya, lagi.

"Aku kelas 11 bahasa. Kamu?"

"Eh, aku juga kelas 11 bahasa lho. Emm.. aku anak baru, kenalin namaku Agatha"

Gadis itu menjulurkan tangan kanannya.
Oh ternyata anak baru. Ha? Dan kelas 11 bahasa? Itu artinya dia sekelas denganku.
Kelas bahasa memang hanya ada satu masing-masing angkatan.
Dikarenakan minimnya peminat kelas bahasa.

"Oya? Kita satu kelas dong. Aku Lintas." Jawabku, sambil menerima uluran tangannya.

Kulihat Agatha sedikit heran dengan namaku.
Itu sudah hal biasa sih bagiku.
Sudah kubilang, namaku ini agak aneh. Seorang perempuan bernama Lintas Senja.
Tapi aku yakin, orang tuaku pasti punya maksud memberiku nama ini. Walaupun aku belum pernah bertanya pada Ayah Bundaku perihal nama unikku ini.

Aku terkekeh geli melihat raut wajah Agatha.
"Jangan heran, namaku mungkin satu-satunya di kota Jogja ini. Jadi kamu bakal mudah menemukan identitas ku kalau aku hilang" kelakarku.

Agatha ikut tertawa.
Lalu dia tiba-tiba merogoh tas merah mudanya. Mencari sesuatu.

"Kalau begitu isi biodata kamu di buku ini ya? Kembalikan saja besok"

Agatha menjulurkan sebuah buku berwarna pink(lagi) padaku.
Isi biodata?
Ya ampun, ini semacam buku harian?
Ternyata masih ada anak yang bermain isi biodata teman di buku harian miliknya.

Aku tersenyum dan menerima buku cantik itu.

"Oke. Besok aku kembalikan saat di bus"

Agatha cuma mengacungkan jempolnya.
Aku memasukkan buku itu dan kembali menatap pemandangan kota Jogja yang tak kalah ramai saat pagi hari.

**

Nama : Lintas Senja
Nama panggilan : Lintas
Alamat : Perum Mulya Asri blok L nomor 77
Telp/ HP : 081542668611
TTL : Jogja, 7 September 1990
Zodiac : Virgo
Warna favorit : Ungu
Makanan Fav : Opor ayam panggang
Minuman Fav : Kopi
Benda favorit : Buku
Tempat Favorit : Pantai
Tipe cowok : Baik, tinggi

"Nulis apa sih, Lin?"

Kak Lintang mengagetkanku.
Aku memang sedang mengisi buku milik Agatha dengan biodata yang sudah disediakan di lembar-lembarnya. Jadi aku tinggal mengisi.
Kupikir, mungkin dengan cara ini Agatha bisa menyimpan data-data milik kawannya.
Karena kulihat di lembar sebelumnya juga sudah ada sekitar 15 biodata yang terisi.
Mungkin teman-teman lamanya Agatha.
Dia pindahan dari kota Bandung. Jauh juga ternyata.

"Eh, kak Lintang. Kok nggak bilang kalau mau dateng?"

"Biodata?"

Aku segera menutup buku itu.
Tapi kak Lintang masih bisa membaca sekilas.
Mungkin setelah ini aku diejek konyol dan kolot.
Ah biarlah.

"Kok masih kayak anak TK gitu. Haha. Punya siapa?"

Tuh kan? Benar dugaan ku. Pasti dia meledek.
Aku tak peduli dan memasukkan buku itu ke dalam tas ku.

"Biarin"

"Lho, ada Lintang. Ambilkan minum dong, Lin"
Bunda tiba-tiba muncul dari dalam ruang tamu.

Lintang segera berdiri dari posisi duduk silanya, dan menyalami Bunda.

"Malam tante"

Aku juga turut berdiri,
"Mau minum apa kak?"
tawarku sebelum beranjak ke dalam.

Bunda tersenyum, "Sayang, Bunda ke rumah Bulik Rasmi sebentar. Tadi sore uang arisannya tertinggal."
Bunda pamit padaku.
Aku mengangguk, "Hati-hati, Bun"

"Hati-hati, tante" kak Lintang turut berpesan.

"Iya. Bunda duluan ya, Lintang"

Aku mengikuti sosok Bunda yang berjalan keluar pagar, rumah Bulik Rasmi hanya berjarak 6 enam dari rumahku.
Tapi pasti Bunda akan betah berlama-lama di sana dulu. Mengingat Bunda dan Bulik Rasmi sama-sama suka berkesperimen dengan kue.
Yang dibahas paling-paling cara membuat kue yang lagi marak, rainbow cake.

"Mau minum apa, kak?"

Aku mengulang pertanyaan ku pada kak Lintang.

"Kopi punya mu belum habis, kan?"

Aku tersenyum. Kak Lintang dan aku memang suka ngopi di rumah ku. Dia bilang dia suka dengan kopi seduhanku.

Lalu kami mengobrol banyak hal malam itu.

***

"Hai. Selamat pagi, ini aku kembalikan buku kamu. Udah aku isi juga"
Akhirnya Agatha naik bus juga.
Bukunya sudah kusiapkan sejak duduk di bangku kesayanganku.
Agatha tersenyum riang menerima bukunya kembali.

"Selamat pagi, Lin. Thanks ya"
jawabnya sembari memasukkan bukunya ke dalam tas pink nya.

"Sweater kamu bagus, Lin. Beli di mana?"
Agatha memandang sweater warna oranye yang kukenakan.

"Oh.. ini. Aku beli di pasar, kok"

Aku memang membeli sweater berwarna langit sore itu di pasar Beringharjo, bersama kak Lintang.
Dia juga yang mengusulkan warna oranye. Katanya sih, biar identik dengan namaku, Senja. Senja identik dengan warna oranye.
Tapi setelah kuperhatikan berulang kali, senja tak selalu memancarkan warna oranye, kok?

"Kapan-kapan kamu mau antar aku ke sana? Pasti di sana banyak barang bagus, ya?"

Yang benar saja, kupikir Agatha ini tipe anak cewek yang suka kemewahan.
Ternyata dugaan ku salah. Kurasa dia seorang gadis yang bersahaja.

Aku tersenyum menanggapinya.

"Dengan senang hati, Tha"

Oh ya, dia di kelas duduk di samping Rena.
Sayang ya, andai saja Agatha duduk di sampingku.

Istirahat pertama, kak Lintang menungguku di koridor kelas sebelas.
Tumben.

"Aku mau nunjukin sesuatu, Lin"
katanya setelah berhasil menggaet tanganku, dan langsung diajak berjalan cepat.
Kenapa sih dia?
Aku mengikuti saja, secara tanganku sudah ada di genggamannya.

Kami berhenti di depan mading sekolah.
Hmm..

"Baca ini" kak Lintang menunjuk selembar kertas HVS yang di atasnya sudah mencetak barisan-barisan huruf.

Turnamen panjat dinding tahun 2006.
Peserta pilihan dari SMA Mitra Bangsa :


1. Arya Biswantara (Xll IPA 3)
2. Dion Cakra Nugraha (XI IPS 1)
3. Fajar Irwandha (XI IPS 2)
4. Lintang Sanjaya (XII IPA 2)
5. Ridho Abimanyu Sakha (X bahasa)


Aku membaca pengumuman itu.
Itu nama kak Lintang.
Itu artinya, dia akan maju lagi ke turnamen tahun ini.


"Wah.. kak Lintang dipilih lagi. Kapan kak turnamen nya?"


"Bulan Oktober. Akhir bulan. Doain, ya"


"Tinggal satu bulan lebih sedikit dong. Kok mendadak ya, kak?"


"Nggak mendadak kok. Peserta udah dikasi notice sebelum liburan kok."


Aku mengangguk. Kak Lintang lalu mengajakku ke kantin.
Membeli sepotong tempe tepung dan es teh manis.


"Hai, Lin. Baru ke kantin?" Agatha hendak keluar dari area kantin. Tangannya menenteng seplastik es sirup dan plastik satunya terisi dengan beberapa potong pisang goreng.
Dia berjalan bersama Rena, teman sebangkunya.


"Hai. Iya, tadi abis liat mading dulu" jawabku.


"Oh yaudah aku ke kelas dulu ya"


Pamitnya kemudian, aku hanya tersenyum mengiyakan dan membalas lambaian tangan Rena.


Aku mengambil sepotong tempe tepung dan memasukkan ke kantong plastik.
Kak Lintang membawakan dua gelas berisi es teh.
Kami duduk di kantin Kang Padi yang mulai sepi.


"Tadi siapa, Lin? Kok aku baru liat ya?"


"Oh.. Dia Agatha. anak baru kok, pindahan dari Bandung"
jawabku, sambil menelan hasil kuyahanku.


Kak Lintang mengangguk dan menyeruput es nya.


"Cantik, ya"
"Memang, aku aja pertama kali liat jadi wahh gitu.."
"Tapi kamu nggak suka dia kan, Lin?"
"Enak aja. Aku masih normal tau kak"


Dan kami tertawa.
Moment seperti itu dengan kak Lintang memang kerapkali menyiksa relung rinduku.


****


"Saya sama sekali tak menyangka. Entah, ini kebetulan atau bagaimana"
wanita itu berbicara pelan sekali.
Nada bicaranya seperti orang bingung.


"Saya juga. Pertama kali melihat, saya itu sudah merasa ada sesuatu yang aneh, sampai saya tahu namanya"
sahut wanita yang usianya sedikit lebih tua dari lawan bicaranya.


"Eh, ayo di minum dulu tehnya. Nanti dingin jadi nggak enak"


Lalu kedua wanita itu menyeruput teh nya masing-masing.
Hati kedua wanita itu sedikit tak tenang.
Ada kecamuk aneh yang mendiami perasaan keduanya.


"Bagaimana kalau akhirnya tahu?"
tanya wanita yang usianya lebih tua.


Wanita yang satunya tak menjawab.
Hanya menggeleng.


"Saya hanya takut, ini menyakiti banyak pihak"


Lalu senja datang, dan memaksa wanita yang usianya lebih tua itu untuk segera pulang.


*****


Sore ini aku ikut kak Lintang latihan manjat di kodim.
Tempatnya agak jauh dari daerah rumah kami.
Jadi kami ke sini naik sepeda milik kak Lintang.
Dan aku, senantiasa berdiri di belakang kak Lintang. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku dan menerbangkan rambut panjangku.
Aku selalu suka dibonceng kak Lintang pakai sepeda itu.
Kalau aku sedang iseng, kupasang gelas aqua bekas pada roda sepedanya, dan kalau jalan pasti akan menimbulkan suara berisik.


Tempat ini agak ramai, banyak yang latihan manjat juga.
Di sini ada lima papan panjat yang memang disediakan untuk latihan para atlit panjat dinding.
Pernah aku dipaksa kak Lintang untuk mencoba olahraga ini.
Alhasil, aku tak kuat. Walaupun badanku kecil, tapi tiap manusia punya kelemahan sendiri-sendiri, bukan?


Kak Lintang sudah bersiap untuk manjat. Kak Nino yang menjadi pencatat waktu menyiapkan alatnya.
Dan mulai menghitung mundur untuk kak Lintang.
Aku paling suka kalau kak Lintang sudah bersemangat seperti sekarang.
Dia itu hebat, menurutku.


-krucuukkk kruuucuuukk-


Duh, perutku bunyi. Untung tak ada orang di sisi kiri maupun kananku.
Mampus saja kalau sampai ada yang tahu bunyi perutku.


Aku menoleh ke arah kak Lintang yang mulai manjat untuk ketiga kalinya. Sepertinya dia nggak puas dengan hasil waktu yang diperolehnya.
Aku memutuskan untuk ke kantin kodim sebentar. Membeli roti coklat sekalian untuk kak Lintang.


"Yah, rotinya habis ya, Bu?"


Aku memandang rak roti yang sudah kosong melompong.
Si Ibu ikut melongok melihat dagangannya.


"Iyo, nduk. Durung ono kiriman maneh. Jajan sing liyane, nduk"
("Iya, nak-untuk perempuan-. Belum ada kiriman lagi. Jajan yang lainnya, nak")


jawab si Ibu dengan logat Jawa kentalnya.


Aku menjelajah dagangan si Ibu.
Adanya snack Chiki Chiki, nggak ada biskuit atau wafer.
Ah, aku nggak begitu suka Chiki.


Aku putuskan untuk beli air mineral saja. Padahal aku sudah membawa dua botol Tupperware penuh air mineral. Itupun karena nggak enak sama Ibunya.


Aku kembali ke bangku beton yang tadi kudiami.
Kak Lintang sudah mendarat, dan terlihat sedang berbicara dengan kak Nino. Mungkin membahas waktu yang dicapai kak Lintang.


"Kamu mau roti?" Aku dikagetkan dengan sebuah suara yang datang dari arah kiriku.


Seorang cowok berdiri dengan senyum sambil tangannya mengulurkan roti coklatnya.


Aku sedikit keheranan.


"Tadi aku lihat kamu mau beli roti tapi sudah habis. Kebetulan yang terakhir beli itu aku."
Dia menjelaskan.


"Oh. Nggak apa-apa, kok. Siapa cepat dia dapat lah kalo di warung. Hehe"
Aku menolaknya dengan halus.


Cowok itu tersenyum lagi, lalu menarik rotinya.
Serta membuka dan melahapnya.


"Yakin?"


Aku mengangguk.
Iyalah yakin. Apalagi roti itu sudah dia lahap separo. Huh.


"Nunggu siapa? Aku boleh duduk di sini?"
tanyanya lagi,


Aku mengangguk lagi.


"Thanks"


Kak Lintang sudah selesai. Dan dia menghampiriku.
Aku menyiapkan botol tupperware nya.
"Duh. Tadi pertama manjat waktunya lama, tapi setelah tiga kali akhirnya bisa cuma 3 menit lebih 25."
Kak Lintang langsung nyerocos sebelum benar-benar berdiri di sampingku.


Aku menyerahkan botolnya, yang langsung ditenggak separo.


"Hebat, kak. Bisa tiga menit aja. Semangat terus, ya" kataku, menyemangati kak Lintang yang hebat.


"Oh nunggu mas ini, ya?"


Aku dan kak Lintang menoleh ke cowok tadi. Aku hampir lupa kalau ada cowok itu di sini
Rotinya sudah habis. Bungkusnya mungkin sudah dibuang di tempat sampah yang kebetulan dekat dengan tempatnya duduk.


"Siapa, Lin?" Tanya kak Lintang padaku.


Aku menggeleng.


"Tenang, mas. Saya ngga kenal mbak ini, dan sebaliknya. Tadi saya cuma nawarin roti aja. Yaudah, pamit ya mas, mbak."
Cowok itu segera menjawab, dan pamit pergi.


Lalu aku dan kak Lintang tertawa setelah cowok itu benar-benar menghilang.


"Dhe, sate usus e mboten wonten?"
(Om, sate ususnya tidak ada?)


Kak Lintang mengamati satu persatu sajian angkringan di atas meja itu.
Aku diam saja melihat gerak-geriknya.


"Durung dikirim mas. Jeh ning omah. Mengko jam sepuluhan lagi ono"
(Belum dikirim mas. Masih di rumah. Nanti jam sepuluhan baru ada)
jawab bapak yang punya angkringan.


Kak Lintang menoleh padaku,
"Sate ususnya belom ada. Cari tempat lain atau gimana?"


Aku tersenyum geli.
Ini yang aku suka juga dari kak Lintang. Dia tau apa yang aku suka, bahkan kebiasaanku kalau menyantap nasi kucing, harus ada sate ususnya.


"Kata kak Lintang di sini yang enak, dan juga murah" bisikku pada kak Lintang.


Dia terkekeh. Lalu mengajakku duduk di bangku kayu panjang.


*


"Baru pulang, tang?"
Mama menyapaku yang baru saja memasukkan sepedaku ke garasi.


Kulihat jam di pergelangan tangan kiriku. Pukul sepuluh sepuluh kurang lima belas menit.


"Iya, ma. Tadi anter Lintas dulu" jawabku.


Mama mengangguk pelan.
Lalu masuk kembali ke dalam.
Aku mengikutinya.


Kulempar tas punggungku sembarangan.
Kulepas t-shirt yang terasa agak lengket.
Bersamaan dengan itu ponselku berdering.


Dani is calling


Ah ngapain sih ni anak?


Kugeser layar ponselku ke kanan.


"Hallo, apaan Dan?"
sapaku, walau memang agak malas.


"Ah akhirnya diangkat, dari tadi ku telponin lho, Tang. Kemana aja sih?"
Dani di ujung sana dengan lantangnya nyerocos panjang kali lebar.


"Lagi balik. Tadi sama Lintas. Ke Malioboro" jawabku, sambil tersenyum geli.


Aku tahu Dani suka sama Lintas sejak dia jadi murid ajaran baru di sekolah kita.
Tapi Dani sama sekali nggak berani ambil langkah, dia cuma banyak nanya tentang Lintas dari aku.
Kukira Dani akan cemburu, walau dia memang tahu aku ini sudah seperti kakak buat Lintas.


"Yah.. Kok gak ajak-ajak sih, bos"
Dani mulai menggerutu.
Nah, kan? Dia itu selalu merasa kesal kalau tahu aku pergi sama Lintas.


"Tadi itu aku latihan manjat. Trus laper, yaudah cari di Malioboro aja sekalian."


"Yowis, tapi kapan-kapan mbok diajak aku."


Aku terkekeh pelan.
Aku gak akan mungkin ngajak orang lain kalau lagi pergi sama Lintas.
Nggak akan pernah.


"Oke oke. Eh, ada apa telepon?"


"Eh iya, sebentar lagi Lintas kan ulang tahun bos. Kasi kado opo yo?"


Hmm.. Iya juga, ini sudah bulan Agustus. Lintas ulang tahun tanggal enam september.


"Woy bos! Diajak ngobrol lha kok malah diem aja"


"Maap maap. Lagi mikir juga ini. Belom tau lah aku. Gampang aja"


Selama ini kalau Lintas ulang tahun memang selalu kuberi kado.
Macam-macam, pernah kuberi novel, kuberi jam saku berbentuk peti harta karun, figuran foto berbentuk matahari, sampai pas aku lagi bokek-bokeknya dia cuma kuberi kado gantungan kunci berbentuk bulan.
Tahun ini ku kado apa, ya?


"Kira-kira dia Adain pesta nggak ya bos?" tanya Dani lagi.


Aku mengerutkan dahi, sepertinya Lintas tak suka dengan hal-hal seperti itu.


"Kayaknya nggak Dan. Kenapa? Kamu mau nembak kalo Lintas adain pesta? Haha" ledekku. Siapa tahu Dani kali ini berani menunjukkan perasaannya.


"Heleh... Palingan dia ndak mau Tang"
Nada suara Dani dibuat seluruh mungkin. Niatnya mau mendramatisir mungkin.
Duh duh.. Jadi jelek pasti.


"Kapan mau ungkapin Dan? Kita udah mau lulusan lho."


"Ya kalo udah tepat wak--"


Terputus.
Dan ternyata ponselku batrenya habis.
Haha pasti besok Dani bakal menggerutu gara-gara ini.


**


"Jadi dia belum berhasil mengajak anak itu kenalan?"


Wanita yang diajak seorang pria bicara itu hanya menggeleng.


"Bodoh. Dia itu becus apa nggak sih?"


"Mungkin dia cari waktu yang pas. Masih ada kesempatan lain, kan"


Pria itu terlihat setuju.


"Semoga lain waktu berhasil. Aku merasa anak itu sudah masuk lebih dalam. Dan itu nggak boleh terjadi"


"Iya. Kasihan anak itu kalau sampai memang sampai terbawa hatinya"


***


"Eh, kak. Sorry itu tasnya masih kebuka"
Seorang menyentuh lenganku dan menunjuk tas punggungku.
Kulirik ke belakang, ternyata benar, sletingnya terbuka lebar.
Duh, rusak nih kayaknya. Tadi perasaan udah aku tutup.


"Iya . Wah, rusak nih kayanya tas aku. Makasih, ya"


Aku menangkap jelas parasnya.
Cantik.
Eh, sebentar-sebentar. Aku sepertinya pernah lihat gadis ini.


"Yaudah kak, aku duluan"
Pamitnya,
Eh bentar..


"Eh, tunggu." tanpa sadar aku meraih pergelangan tangannya yang tertutup jaket.


"Ya, kak?" jawabnya, sambil berusaha melepas genggaman jari-jariku.


"Oh maaf maaf. Eh, kamu temen sekelasnya Lintas, ya?"


Gadis itu mengangguk sambil menyunggingkan senyumnya.


"Iya, kak. Kakak ini kakaknya Lintas?"


Spontan saja aku mengangguk.
Ya, Lintas memang sudah kuanggap adikku sendiri. Karena aku emang nggak punya saudara kandung, ya.


"Tapi bukan kakak kandung kok" sambungku.


"Ohh aku kira kakak kandung. Oh ya, aku Agatha. Salam kenal, kak"


Gadis itu mengenalkan dirinya, serta menjulurkan tangan kanannya.


Aku menerima uluran tangannya.


"Aku Lintang. Salam kenal, Agatha."


****


Aku melihat kak Lintang dan Agatha berjabat tangan. Senyum mengembang di pipi mereka masing-masing.


Mereka berkenalan?


Selama ini yang kutahu , kak Lintang jarang sekali mau dekat-dekat dengan cewek.
Selama ini kak Lintang emang belum pernah pacaran. Dia beralasan, belum ada yang bisa mengisi hatinya.


Tapi sekarang, sepertinya ada sesuatu dengan kak Lintang.


Aku tak tahu apa yang dibicarakan mereka.


Aku meninggalkan koridor kelas kak Lintang, yang memang harus dilewati jika akan menuju parkir bus sekolah.


Aku menaiki bus yang sudah banyak penghuninya.
Jam pulang sekolah memang menyenangkan bagi anak-anak.
Makanya kadang mereka seperti tergesa-gesa menyuruh Pak Rahman untuk tancap gas.
Aku duduk di bangku ternyaman ku.
Sebentar lagi pasti Agatha duduk di sampingku.


Benar saja, Agatha masuk bus, diikuti kak Lintang di belakangnya.
Huh.
Entah kenapa aku merasa bergejolak.


"Hai, Lin. Eh, aku ke belakang dulu ya, Tha"
Kak Lintang menyapaku setelah Agatha duduk di sampingku.


Aku hanya mengangguk tanpa ekspresi.


Bus mulai berjalan . Aku asyik saja melihat ke arah luar jendela.
Jogja siang ini panas sekali.


"Kak Lintang rumahnya deket sama kamu ya, Lin?"


Hah apa?


Aku menoleh, mendapati Agatha yang tersenyum.


"Oh, iya. Lumayan." jawabku, seadanya saja.


"Orangnya baik, ya. Kamu beruntung punya temen kayak kak Lintang."
Kudengar nada bicara Agatha sedikit berlebihan memuji.
Ada nada kagum yang entah kenapa membuatku bergejolak lagi.
Kenapa, sih?


"Hehe iya" jawaban nggak mutuku akhirnya keluar.


Kulirik Agatha sempat menengok ke belakang.
Astaga.
Apa dia menengok kak Lintang?

*****

Kak Lintang dan Agatha sepertinya semakin dekat saja.

Sejak perkenalan mereka tempo kemarin, kak Lintang selalu saja banyak bertanya tentang Agatha.
Dan aku yang notabene cuma dekat waktu naik bus jadi semakin bingung untuk menjawab.
Di sisi lain, ada perasaan lain yang kurasa aneh.

Seminggu lagi aku ulang tahun.
Aku mengadakan syukuran kecil-kecilan tiap tahun.
Yaa.. tak ada yang kuundang.
Ini lebih tepatnya acara dengan keluarga sendiri.
Dan tak lupa, keluarga kak Lintang juga selalu datang memenuhi undanganku.

Aku tak suka pesta. Aku nggak suka hal-hal seperti itu.
Makanya aku dari kecil nggak pernah mau kalau ulang tahunku di rayakan ramai-ramai.
Aneh ya aku?

"Lintas!"
Kak Lintang memanggilku.
Dia tampak berlari menghampiri tempatku berdiri.

"Ya kak?" tanyaku setelah dia tepat di depanku.

"Nanti sore temenin latihan, ya. Nanti pulangnya kita makan jagung bakar deket keraton"

Aku tersenyum lebar.

"Sama beli leker juga, ya"

Kak Lintang mengacak-acak rambut ku. Dan mengajakku ke kantin.

Sore ini tempat latihan lebih ramai. Daripada beberapa hari lalu.
Aku mengambil tempat seperti biasa, di bangku beton yang biasa kududuki saat menemani kak Lintang latihan.

Kak Lintang sudah bersiap-siap di bawah tebing.

"Hai"
Sebuah suara sedikit mengagetkan ku.
Aku menoleh, hmm.. dia kan cowok yang waktu itu?

"Boleh duduk?"
tanyanya sebelum aku membalas sapaannya tadi.

Aku mengangguk saja.
Dan memindahkan tas kak Lintang ke pangkuanku.

"Kamu sering ke sini sama cowok kamu, ya?"

Cowok itu menatapku, sambil tersenyum.

"Ya kalau pas kak Lintang latihan aja, sih"

"Jadi dia kakak mu?"

Aku mengangguk lalu menggeleng.
Entah kenapa aku sedikit ragu.
Kak Lintang itu sudah seperti kakak sendiri. Tapi aku lebih suka menganggapnya sahabat.

"Haha. Oke oke. Aku Ari"
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya, menyebutkan namanya.
Dia mau kenalan?

"Aku Lintas"
Nggak sopan kan kalau tidak kujawab dan tidak kuterima uluran tangannya.

"Lintas. Nama yang unik. Aku suka"

"Iya. Makasih"

Kulirik Ari melihat ke arlojinya.
Lalu dia berdeham,
"Yaudah. Aku pergi dulu. Ada urusan. Kapan-kapan, boleh kita ngobrol lagi?"

"Boleh saja, kalau ketemu lagi, ya"

Ari tersenyum lalu meninggalkan aku.
Dan aku kembali fokus lagi pada kak Lintang.

"Oh ya, sorry. Boleh nyimpen nomor telepon kamu?"
Aku kaget saat Ari tiba-tiba muncul lagi di sampingku .
Ku kira dia sudah benar-benar pergi tadi.

"Duh.. Jadi kaget. Hehe. Hmm.. boleh"
Aku terkekeh geli sendiri.

Ari mengeluarkan ponselnya, dan menyerahkan padaku.

Ku ketik deretan angka yang sejak SMP sudah kupakai.

"Ini" kataku seraya mengembalikan ponselnya.

"Thanks.  Semoga aku gak kamu kasih nomor satpam di sekolah kamu, ya"

Haha bisa saja dia.

Kami tertawa kecil, dan dia kembali pamit pergi lagi.
Aku memastikan bahwa dia tidak muncul lagi tiba-tiba. Ari berlari kecil menuju arah parkiran.

*

"Bagus. Awasi saja terus. Dekati juga"

"Iya Budhe."

"Yasudah. Semoga ini berhasil. Kasihan anak itu."

"Iya, aku rasa, dia memang sudah terbawa perasaan"

"Jangan sampai itu terjadi. Bagaimanapun juga, tidak boleh"

"Iya. Yasudah Budhe, aku tutup ya. Aku ada deadline tugas kuliah."

"Heem. Makasih ya.."

**

Aku membuka kado dari kak Lintang.
Tampak sebuah buku (semacam buku harian) tebal, covernya suasana malam. Ada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan.
Wah, dia bisa nemu buku kayak gini di mana ya?

Wanginya harum. Bukan harum wangi bunga atau semacam parfum. Tapi wangi khas buku yang baru.
Terlihat semakin aneh ya aku?
Suka dengan wangi buku yang baru.
Selain itu aku juga suka dengan bau tanah yang baru saja kena air hujan.
Hmm entah kenapa bisa menyejukkan.

Ponselku bergetar .
Sebuah SMS masuk.

"Gimana? Suka gak? Maaf ya kalo gak suka. Tapi kek nya kamu suka deh kado kali ini 😊"

Sender: Kak Lintang

Aku tersenyum lebar. Tanpa sadar mengangguk sendiri.

"Suka bgt kak..... Makasih ya. Btw, beli nya dmna itu? Cantik bgt"

Send to : Kak Lintang

Tak ada satu menit ponselku bergetar lagi .

"Ada dehhh... Syukurlah yg ptg kamu suka. Y udah kmu bobo. Udh malem. See you at school "

Sender : Kak Lintang

Kuletakkan ponselku setelah membalas satu SMS lagi.
Lalu merapikan kembali kotak dan bungkus kado yang masih berserakan di atas kasurku.

Ku masukkan buku Bulan itu ke laci nakasku.

Makasih kak Lintang.
Mulai besok, buku itu akan aku coret-coret dengan cerita-cerita kita.

***

Aku menuju kelas Lintas.
Bukan, bukan mau menemui Lintas.
Dia tak masuk hari ini, Lintas dan orang tuanya pergi ke Boyolali , katanya ada saudara yang meninggal.

Aku melihatnya duduk sendirian, ditemani i-pod dan earphone yang tampak menyumpal kedua cuping telinganya.

"Lagi dengerin apa nih?"
tanyaku setelah duduk di bangku depan mejanya.

Agatha tersenyum senang melihatku datang.
Segera dia melepas earphone nya.

"Eh kak Lintang. Hehe. Bosen sih, ya MP3 an aja."

Aku mengangguk.

"Lintas hari ini nggak masuk, kak"
Agatha seperti memberikan laporan padaku, dia menoleh ke arah tempat duduk Lintas yang sudah kuhafal.

"Iya. Saudaranya ada yang meninggal."

Agatha mengerucutkan bibirnya.

"Nggak ke kantin?"
Tanyaku kemudian

"Masih kenyang kok, kak. Hehe"

"Aku ke sini mau ngajakin kamu nonton aja sih besok. Mau nggak?"

Agatha tampak terbelalak, tampaknya dia sedikit kaget.
Dan wajahnya semakin cantik kalau dia seperti itu.
Lalu kulihat pipinya merona. Dia nge blush?

"Sama Lintas?"

Aku menggeleng cepat.

"Dia baru pulang dua hari lagi katanya. Dan film itu besok tayang terakhir. Daripada aku nonton sendirian, mending ngajak kamu"
Aku menjelaskan.
Ehm, sebenarnya itu hanya alasanku saja.
Intinya memang dari awal aku ingin mengajak Agatha nonton.

Dia tampak berpikir.

"Okelah kak."

Ah akhirnya, aku suka jawaban itu.

****

Kemarin kak Lintang pergi nonton sama Agatha.
Aku tahu dari Agatha.
Tapi kenapa kak Lintang nggak cerita ke aku ya?

Malam ini, aku dan kak Lintang pergi ke coffeeshop di daerah kampung Tamansari.
Aku memesan kopi pahit kesukaanku. Aku tak tahu kenapa aku lebih suka rasa pahit dari kopi.
Sejak aku dikenalkan kak Lintang pada kopi, aku langsung jatuh cinta saja pada pekat hitamnya, rasanya yang pahit, dan aroma khasnya.
Di rumah, aku juga selalu sedia kopi daerah. Yang sudah digiling dan dijadikan bubuk origin.

Oh ya, waktu kenal kopi. Dan waktu pertama kali melihat alat membuat espresso, besoknya aku langsung minta ke Ayah untuk dibelikan.
Beruntungnya aku punya Ayah yang baik.
Sampai sekarangpun, kalau kak Lintang main ke rumah, dia selalu kubuatkan espresso ala Lintas ataupun kadang dia ingin tubruk an saja.
Yang pasti, dia selalu bilang kalau dia suka kopi seduhanku.

Aku sengaja membawa buku bulan pemberian kak Lintang.

"Garis-garis di lembar-lembar ini masih kosong, kak"
Kataku sambil menunjukkan lembaran-lembarannya yang masih kosong.

"Akan kau isi dengan tulisan tentang apa buku harian tebal itu?"

Aku menggeleng, lalu menatap kak Lintang yang tengah menyesap kopinya.

"Tentang aku saja" usulnya sambil terkekeh pelan.

Aku segera membuang muka, menghindari tatapannya yang kurasa sudah membuat wajahku seperti kepiting rebus.
Aku menghela nafas.

"Lintas, kamu tau? Kemarin aku baru saja nonton sama Agatha "

Kali ini aku yang menyesap kopiku. Pahit segera menguasai rongga mulut lalu mendesak masuk kerongkonganku.
Seperti kalimat pemberitahuan kak  Lintang barusan. Pahit.

"Lalu?" kuberanikan diri bertanya, walau mungkin suaraku bergetar.

Kak Lintang tersenyum,

"Sepertinya dia menyukaiku juga" .

Apa? Menyukaiku juga?
Berarti, kak Lintang suka sama Agatha dong?

"Hm?"
Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Kak Lintang terlihat tersenyum senang.
Kak Lintang jatuh cinta?

"Aku suka sama Agatha , Lin. Kira-kira gimana? Cocok nggak aku sama dia?"

Aku melongo. Aku harus jawab apa?

Ah..
Kurasa benar kata kak Lintang, akan kuisi tiap lembar buku itu dengan kisah tentangmu.
Tentangmu saja, bukan tentang kita.
Karena tentang kita tak ada yang lebih istimewa selain bersepeda ke Malioboro ataupun menyeduh kopi bersama lalu menyesapnya.

*****

Turnamen babak penyisihan pertama sudah selesai.
Kak Lintang masuk ke babak kedua.

Aku di sini. Duduk di bangku penonton bersama Agatha.
Ya, Agatha.
Dia semakin dekat dengan kak Lintang. Dan juga aku, tentunya.

Tapi semakin ke sini, kak Lintang jarang mengajakku pergi. Jarang juga ke rumah. Juga jarang SMS.
Yang sering meng SMS ku justru adalah kak Ari.
Aku harus memanggilnya Kak karena kutahu dia sudah kuliah.

Ah, aku kangen kak Lintang.
Apa aku cemburu?
Hmm.. aku nggak tahu.

"Kak Lintang hebat ya, Lin"
Kata Agatha setengah berteriak.
Karena suasana di sini memang seperti pasar.

Aku mengangguk.

"Lin, kira-kira kak Lintang suka sama aku nggak, ya?"

Hah ? Apa?

Aku menyendengkan telingaku lagi

"Apa?"

"Kira-kira kak Lintang suka sama aku nggak? Dia sering cerita ke kamu dong pasti"

Aku mengerjapkan mataku. Lalu memandang ke arah lain.

Kak Lintang memang nggak pernah cerita ke aku tentang perasaannya.
Tapi sepertinya aku bisa membaca lewat gerak-geriknya.
Ya! Kak Lintang suka sama Agatha.

"Kok nggak jawab, Lin?"

Agatha mengguncang bahuku pelan.
Aku menoleh padanya.

"Aku nggak tau, Tha. Kak Lintang nggak pernah cerita kalau tentang hal itu" aku jujur. Ya. Aku memang sedang jujur.

"Enak ya jadi kamu. Bisa deket sama kak Lintang." Agatha seperti merajuk.

"Aku ke toilet dulu , ya?"
Aku pamit dan berdiri , lalu bergegas ke toilet. Aku hanya sedang tak ingin membicarakan hal seperti tadi.

Entah kenapa aku merasa panas, panas, ya, panas.
Aku nggak nyaman kalau Agatha membahas kak Lintang seperti tadi.
Huft.. aku ini kenapa??

Brukk!!!

"Aduuhhh"
Aku terdorong ke belakang. Dan jatuh dengan posisi duduk.

"Eh, sorry sorry"

Orang itu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Aku mendongak.

"Lho? Kak Ari."

"Lho? Lintas."

Kami spontan berbarengan.

Aku berdiri dibantu dia. Lalu kami tertawa geli.

"Sorry ya, jadi nabrak. Sakit ya?"

"Nggak kok. Kayaknya tadi aku yang ngga fokus pas jalan, deh."

Aku menggaruk keningku yang nggak gatal sama sekali.
Memang sepertinya tadi aku melamun.

"Nonton kakak kamu, ya?"
tanya kak Ari.

Aku mengangguk.

"Oh.. oke. Masuk babak kedua kan? Hebat dia"
kata kak Ari.

"Iya kak Lintang masuk babak kedua. Doain, ya"

Kak Ari juga sebenarnya sering panjat dinding.
Makanya dia sering di sini.
Tapi entah kenapa dia nggak pernah mau ikut turnamen.

"Yaudah kak, aku balik dulu, ya. Ditunggu temen juga, nggak enak."
Pamitku pada kak Ari.

"Iya. Silahkan. Ati-ati jangan ngelamun lagi" kak Ari terkekeh pelan.

Aku membentuk huruf O dengan jempol dan ibu jariku, seraya tersenyum.

*

Kak Lintang berhasil bawa nama baik sekolah, dia mendapat peringkat kedua di turnamen panjat dinding.

Dia senangnya bukan main.
Aku juga turut senang.

Sore ini, dia main ke rumahku.
Membawa dua dus Pocky, Chitato dua bungkus, tiga bungkus wafer beda rasa, susu kotak ultramilk, sebotol pocari sweat, dan sekotak coklat.

Mungkin dia ingin merayakan kemenangannya, dan membagi makanan sebagai syukurannya.

"Wahh... Ini kayaknya kode biar aku gendutin badan ya?"

Kak Lintang tertawa mendengar kelakarku setelah membuka sekantong plastik berisi makanan itu.

"Iya. Itu traktiran sebelum kamu minta pajak menang lomba sama pajak jadian. Hahaha"

Hah? Pajak jadian?
Siapa yang jadian?

Aku menghentikan menguyah wafer rasa kacang yang sudah kukoyak.

Kak Lintang memandangku dengan senyum lebar.

"Kau tau? Agatha menerima aku jadi pacarnya."

Sekarang aku yang merasa terkoyak.
Ini nyata?
Kapan?
Ya Tuhan. Kak Lintang bahkan nggak cerita kalau dia memang jatuh cinta pada Agatha.

**

Komentar