Potret Jogjakarta

Kemarin, di pagi buta,
Kaki ku sudah menapak di ujung kota.
Dingin menyergap sendi-sendi tulang,
Menembus kulit yang terbalut rajutan benang.
.
Sendiri aku berjalan,
Yang lain masih meringkuk di atas dipan.
Sendiri aku menikmati,
Keresahan hati.
.
Sampailah aku di bangunan tua,
masih sepi dan tampak segelintir jiwa.
Bersiap menyambut hari,
yang bagi mereka suci.
.
Aku melangkah tanpa ragu,
Walau firasat buruk menyelimutiku.
Aku tak gentar,
Aku seperti dihantar.
.
Duduk diam mengadah mimbar,
mengeyahkan perasaan hambar.
Mata mengerjap,
Bulir bening datang sekejap.
.
Bangunan tua mulai ramai,
gaduh namun damai.
Firasat ku makin menajam,
entah kurasa di sini semakin kelam.
.
Pastur beranjak menginjili,
jemaat mempersiapkan diri.
Aku menoleh kanan kiri,
memastikan sesuatu tak akan terjadi.
.
Hitungan menit, seorang pria berpedang,
merengsek maju seakan siap perang.
Senjatanya terhunus di dada Pastur,
timbul kericuhan seakan bangunan ini akan hancur.
.
Bangunan ini tak hancur,
jiwa mereka yang lebur.
.
Duka meraung keras,
atas matinya solidaritas.
.
Sang Garuda pucat pasi,
atas binasanya toleransi.
.
Sang merah putih di ambang kehancuran,
Atas musnahnya asas kesatuan.
.
.
.
.
.
Kudus, 15 Februari 2018

Komentar